Popular Posts

Tuesday, October 11, 2011

Hujan Sesaat

Pagi itu, aku dan sobat ceking ku duduk-duduk dibawah pohon. Si mantan gondrong yang ceking tadi sedang sibuk menghisap kreteknya, sementara aku....yah,aku terpaksa sibuk menghisap asap racun yang dikeluarkannya. Haha, mau bagaimana lagi ? 5 tahun bersahabat dengannya, segala suka-duka pun telah dilewati bersama. Jadi kurasa, berbagi asap rokok diusia produktif kami tidaklah perlu dipermasalahkan.

Pagi itu, suasana kampus lagi-lagi riuh rendah. Lebih ramai dari biasanya. Biasanya kampus hanya dipadati mahasiswa-mahasiswa pengejar nilai A, dan orang-orang yang jadi calo nitip tanda tangan absen oleh teman-temannya. Pagi ini, kampus seolah-olah dipadati para pemuda-pemudi berjas almamater.

"Apaan nih ? Kok tumben rame ?" tanya si Ceking.

" Mo demo kayaknya..." jawabku ringan sambil melanjutkan bacaan ku.

"Ngga ikut kamu ?"

"Nggak..."

"Kenapa ? Padahal biasanya kamu yang paling sering berorasi didepan ?" cecar si Ceking yang kini mulai menyebalkan.

"....lihat saja nanti ..."

"Kak, ini pernyataan sikap kami,kak..",tiba-tiba muncul dihadapan kami seorang junior gondrong beralmamater serupa dengan kawan-kawannya sambil menyerahkan beberapa lembar selebaran. Si junior datang dan menyapa Ceking karena Ceking dulunya juga dikenal sebagai jagoan kampus berambut gondrong -sampai kemudian dia memutuskan untuk turun takhta dengan memangkas habis rambutnya. Sedangkan aku...yah,hanya senior kutu buku aneh sahabat si Ceking.

"Isu nya apa ?" tanya Ceking penasaran.

"Kakak tidak lihat berita yaa ? Katanya anggaran pembelanjaan negara untuk setelan-setelan presiden itu luar biasa membludak ! Kita tidak boleh membiarkan ini kak! Bla..bla...bla..." sisa argumen si junior berjas almamater tak ada bedanya dengan angin lalu ditelingaku. Lewat begitu saja. Sedangkan aku.. yah,masih sibuk dengan bukuku.

“Tidak ikut ki’ kak ?” tanya si junior padaku tiba-tiba.

“Tidak usah,terima kasih. Ini panggungmu sekarang,” jawabku sambil tersenyum. “Aku dan Ceking disini saja”

Dan si demonstran pun berlalu.

“Eh,kamu serius ngga mau ikut demo kali ini ?” tanya si Ceking penasaran.

“Memangnya kenapa ?”

“Ndak ji…aneh saja”. 

Di kejauhan kami melihat massa mulai berkumpul disekeliling tugu. Meneriakkan sumpah serapah, hanya beberapa orang yang Nampak berorasi dengan bahasa ‘intelektual’. Atau simpelnya, bahasa yang kurang dipahami orang awam yang tidak mendapatkan pelajaran kepujanggaan.

“Menurut mu….. isu setelan presiden itu,penting ndak ?” tanyaku pada Ceking
.
“Penting lah ! Semua orang juga berkata seperti itu” jawabnya.

“Kata siapa ?”

“Kata media. Kan berita setelan presiden ini sudah jadi bahan perbincangan di teve-teve selama 2 hari ! Di Koran-koran juga”. Kini kami berdua menyaksikan asap hitam mulai terkepul. Tanda ban pun telah dibakar.

“Wah,bakalan ricuh nih..” ujar si Ceking khwatir.

“Ah,ngga kok…” jawabku cuek

“Kok bisa ?”
  
“Lihat…langit mendung.”

“Terus ?”

“Lihat saja…”

Seperti sihir, awan mendung yang tadinya bergelut malu kian menggelap. 10 menit..15 menit..tak lama kemudian titik-titik hujan pun jatuh membasahi bumi. Seperti kehujanan batu, para demonstran baik itu wanita, lelaki, si necis bahkan si gondrong pun berlarian meninggalkan lokasi aksi. Tak ada kilat yang menyambar…hanya tetes-tetes hujan yang jatuh dengan angkuhnya, seolah menantang kesiapan hati para demonstran. Dan itupun telah dimenangkan oleh sang hujan dalam waktu tak sampai dua menit.

Berbeda dengan para demonstran yang masih ‘hijau’ itu, aku dan Ceking justru lebih suka beradem-adem ria dibawah rintik hujan.

“Ih,itu ji ? Demo nya kalah sama hujan ?”

“Ha ha…begitulah kawan. Kau tahu … mahasiswa hari ini sudah terlalu dibawah pengaruh media. Begitu liat berita korupsi di tivi,langsung buru-buru demo. Begitu liat berita setelan, langsung buru-buru demo. Tak ada lagi kaum intelektual yang mau bersusah payah melakukan penyelidikan tentang permasalahan utama negeri ini. Tak ada lagi yang sanggup meramalkan dampak kedepannya. Tak ada lagi yang mau menatap masa depan bangsa ! Semuanya terpengaruh apa yang media ingin perlihatkan.” celetuk ku kepada Ceking.


“Iya ya…padahal,media hari ini kan punya para pembesar partai juga” ujar Ceking sambil manggut-manggut
.
“Kini kuulang pertanyaanku,kawan….Dibandingkan dengan isu setelan presiden, sepenting apa sih isu Centurygate yang kini telah tertutup kabut ? Gimana kabarnya si pemegang kunci misteri yang bernama Nunung itu ? Apa kabar para pembunuh Munir dan Marsinah ? Kasus Nazaruddin,bagaimana buntutnya ?”

………………… kali ini Ceking terdiam. Kami pun terdiam menyaksikan butir-butir hujan yang kian menguap ditelan angin. Hingga akhirnya hujan pun tak tersisa. Hanya air menggenang menjadi saksi bahwa hujan pun sempat meninggalkan jejaknya disini.


“Tak ada lagi orang-orang yang betul-betul ingin berjuang. Semuanya hanyalah…euphoria semata. Untuk apa demonstrasi ? Kalo demonya hanya satu-dua hari tanpa ada keinginan untuk mendampingi hingga pada tahap penyelesaian..apa gunanya ? Semua masalah besar dengan mudah dikaburkan oleh isu kecil lainnya. Murahan…”

Kali ini kutengadahkan kepalaku memandang langit yang sendu..

“……Semuanya… Hanyalah hujan sesaat…..”

***
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanaman-tanaman bumi, di antaranya ada yang dinamakan manusia dan binatang ternak.
Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya,dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir.”
( Q.S Yunus : 24)

No comments:

Post a Comment