Popular Posts

Saturday, October 8, 2011

Bukan Siti Nurbaya

“ Ohh, memang dunia buramkan segala logika.
Seolah-olah hidup kita ini hanya ternilai sebatas rupiah.
Dengarkan manusia yang terasah oleh falsafah.
Saat katanya… itu bukan dogma”
-Dewa 19 : Cukup Siti Nurbaya

***

Sejak lahir, persegi berteralis ini adalah pemandanganku sehari-hari.

Di kala mentari menyapa, daunya terbuka lebar-lebar…. Menyapa embun pagi yang mengelus wajahku.

Di kala rembulan terbit, daunnya menutup.. memberiku perlindungan dari angin gunung yang menggigit.

Selain persegi berteralis ini, tak ada satupun yang berani member tahuku tentang apa yang terjadi diluar sana.

Kata Abah, dunia luar itu penuh orang jahat. Titisan Setan ! Pemuda-pemuda berambut gondrong yang suka musik-musik barat.Orang-orang murtad.

Kata Ummi, seorang anak gadis terhormat tak boleh mengobral dirinya didepan umum. Cukup sebatas halaman belakang saja, itupun tak boleh jika ada lawan jenis yang melihat.

Gadis suci yang dijaga ibarat barang antik yang begitu berharga.

Hanya persegi berteralis menjadi kawanku…



Kawanku,persegi berteralis memperkenalkan aku dengan indahnya warna pelangi.

Terkadang ada beberapa ekor burung kecil yang hinggap,sekedar menantikan remah sisa sarapan pagi ku.

Ada rumput, ada pohon, ada penjual panci keliling, ada sepeda, bahkan temuan manusia paling ajaib yang pernah kulihat ! Sebuah teknologi Barat yang bernama mobil.

Abah sangat membenci mobil.. dan segala sesuatu yang berbau Barat.

Kadang dibantingnya daun kawanku ketika  didapatinya aku mengagumi mobil-mobil yang lalu lalang maupun wanita-wanita berpakaian renda yang begitu cantik.

Kata Ummi, Abah tak ingin aku jadi ikut-ikutan para pemuda pemudi  murtad itu.



Jika boleh jujur, sebenarnya aku tak suka hidup begini.

Aku ingin sekali terbang bebas seperti burung-burung kecil yang sering hinggap di tepi tubuh kawanku.

Ingin melihat sampai seberapa jauh kah garis yang membatasi antara langit dan bumi

Ingin berpakaian cantik seperti gadis-gadis Indo yang lalu lalang

Ingin mengendarai mobil.

Ingin bersekolah seperti kebanyakan pemuda-pemudi lainnya

Dan bukannya hanya kedatangan seorang Ustadzah tiga kali seminggu untuk mengajariku baca,tulis, dan mengaji.

Kawanku persegi berteralis,selalu setia menemaniku berkhayal..meski semua hanya mimpi kosong.



Pada hari ‘bersejarah’ itu, kawanku persegi berteralis mengkhianatiku !

Saat itu aku tengah asyik menyulam sambil bercengkrama dengannya, hingga ketika ‘dia’ lewat.

Dia yang tak ku kenal namanya…seorang pria,seperti Abah tapi jauh lebih muda.

Seusiaku ku kira..

Tubuhnya tegap dengan perawakan gelap. Mata kobalt hitamnya memandang lurus penuh kharisma.

Hidung yang mancung dan bibir yang tebal berhias sengiran,bukan senyuman. Berbingkai rambut ikal tebal sepanjang bahu.

Ia lewat sambil berbincang dengan kawan sesama bersetelan hitamnya, tak memperdulikan pandangan menggoda gadis-gadis yang dilaluinya. Bahkan pandangan takjub ku pun tak dihiraukannya.

Ya Allah, maafkanlah hambaMu yang mengagumi ciptaanMu ini dengan cara yang berlebihan, Yaa Allah..

Saat itu aku baru berusia 13 tahun.



Dia tetap tak bernama meski kerap kupandangi dia melalui kawan berteralisku hingga 48 purnama telah berlalu.

Dari kawan berteralisku, kuketahui bahwa ternyata ia ternyata tinggal di kampong sebelah. Dia sering berkunjung kemari karena sahabatnya tinggal disini. Dia suka dengan musik Barat. Pada saat-saat tertentu,dia akan datang dengan menenteng biola ditangannya. Mozart, Bach, Beethoven..semua dia sukai ! Dia juga sering ke masjid, tapi tak suka jika para imam menggerutu tentang rambutnya yang tetap sebahu. Dia juga tak suka wanita yang sering menggodanya. “Murahan..” , itu kata yang pernah terlontar dari bibirnya beberapa purnama yang lalu.

Dia…tidaklah seperti setan, seperti wejangan Abah tiap harinya.

Dia …berbeda. Dan semakin hari..dia tumbuh menjadi semakin…menarik.

Pada usia keempat belasku, dia terlihat menenteng-nenteng buku tebal karya Karl Marx.

Pada usia kelima belasku, kulihat dia sedang berpidato dihadapan sejumlah pemuda kampong lainnya.

Pada usia keenam belasku, kulihat dia kian disambut hangat oleh para pemuda kampong.

Setiap tahun aku hanya sanggup mengagumi dia dari jauh.

Karena kawanku persegi berteralis bukanlah pintu yang sanggup mengijinkanku meraihnya.



Pada usia ketujuh belasku, aku dipaksa berhenti mengidamkan dia.

Karena,hari ini aku tlah berpisah dari kawanku persegi berteralis.

Karena, besok… aku pun akan pindah ke kampong suamiku.

Ya, Abah dan Ummi telah memilihkan untukku seorang imam bagiku

Imam yang di masa depan mungkin sanggup membimbingku, tapi tak menguasai hatiku saat ini

Karena imam itu bukanlah dia.

Carut marut hatiku melihat imamku itu membaca ijab Kabul dihadapan penghulu.

Sosok pria yang baru kulihat di hari pernikahanku.

Kawanku persegi, begitu jahat dirimu !

Kau perkenalkan ku pada cinta yang tak mungkin kuraih !

Derai air mata bercucuran dalam hening..tanpa seorangpun yang tahu



***

Kuamati putri berusia tujuh belas tahunku..

Begitu mungil, begitu sedih..

Kulihat dia memandang pilu ke arah seorang pemuda dari ambang jendela.

Lagi-lagi.... ku teringat dirinya dan kawanku si persegi berteralis.

Lantas kutepuk bahu putriku seraya berbisik, “Keluarlah lewat pintu itu,nak. Dan berkenalan dengan lah dengannya. Karena jendela diciptakan hanya untuk memandangi segala kemungkinan. Sementara pintu akan membantumu mewujudkan kemungkinan tersebut”



Kulihat raut wajahnya memerah sejenak, namun dengan bersegera ia mengecup pipiku seraya berlari keluar rumah untuk berkenalan dengan sang pemuda.

Ya, aku tak menyesali hidupku… tapi aku ingin putriku memiliki pilihan.

Pilihan yang tak kumiliki dulu……..

***
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ”
(Q.S Ar’Rad : 11)

No comments:

Post a Comment