Popular Posts

Friday, September 30, 2011

MARSINAH

Ini kisah pahlawanku…..
Pengetahuan Mengubah Nasib
Marsinah lahir tanggal 10 April 1969. Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini merupakan buah kasih antara Sumini dan Mastin. Sejak usia tiga tahun, Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Bayi Marsinah kemudian diasuh oleh neneknya—Pu’irah—yang tinggal bersama bibinya—Sini—di desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.

Pendidikan dasar ditempuhnya di SD Karangasem 189, Kecamatan Gondang. Sedang pendidikan menengahnya di SMPN 5 Nganjuk. Sedari kecil, gadis berkulit sawo matang itu berusaha mandiri. Menyadari nenek dan bibinya kesulitan mencari kebutuhan sehari-hari, ia berusaha memanfaatkan waktu luang untuk mencari penghasilan dengan berjualan makanan kecil.

Di lingkungan keluarganya, ia dikenal anak rajin. Jika tidak ada kegiatan sekolah, ia biasa membantu bibinya memasak di dapur. Sepulang dari sekolah, ia biasa mengantar makanan untuk pamannya di sawah. “Dia sering mengirim bontotan ke sawah untuk saya. Kalau panas atau hujan, biasanya anak itu memakai payung dari pelepah pisang,” kenang Suradji, pamannya Marsinah sambil menerawang. Berbeda dengan teman sebayanya yang lebih suka bermain-main, ia mengisi waktu dengan kegiatan belajar dan membaca. Kalaupun keluar, paling-paling dia hanya pergi untuk menyaksikan siaran berita televisi.

Ketika menjalani masa sekolah menengah atas, Marsinah mulai mandiri dengan mondok di kota Nganjuk. Selama menjadi murid SMA Muhammadiyah, ia dikenal sebagai siswa yang cerdas. Semangat belajarnya tinggi dan ia selalu mengukir prestasi dengan peringkat juara kelas. Jalan hidupnya menjadi lain ketika ia terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ia tidak punya cukup biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, seperti juga nasib jutaan anak sekolah di Indonesia yang tidak mampu menyelesaikan sekolahnya karena tidak punya biaya.

Kondisi keluarga yang miskin membuat Marsinah meninggalkan desanya, sebuah langkah hidup yang sulit terelakan. Kesempatan kerja di pedesaan semakin sempit. Kerja sebagai buruh tani makin kecil peluangnya. Sekarang ani-ani—alat tradisional penuai padi—sudah berganti dengan sabit yang lebih efisien dan tidak memerlukan jumlah tenaga kerja sebanyak sebelumnya. Perkembangan teknologi, bukannya meningkatkan kesejahteraan rakyat, justru semakin menyingkirkan para buruh tani. Tidak mengherankan, bau keringat bercampur tanah sawah sudah tidak lagi memenuhi udara pedesaan. Lenguhan sapi yang kelelahan membajak tanah semakin jarang terdengar. Ia telah disingkirkan oleh deru mesin traktor.

Ujungnya adalah tidak ada pilihan lagi selain pergi ke kota. Maka ia berusaha mengirimkan sejumlah lamaran ke berbagai perusahaan di Surabaya, Mojokerto, dan gresik. Akhirnya ia diterima di pabrik sepatu BATA di Surabaya tahun 1989 dan memulai kehidupannya sebagai buruh seperti halnya jutaan kaum tani yang terseret ke pabrik-pabrik karena kemiskinan yang parah di pedesaan. Setahun kemudian ia pindah ke pabrik arloji Empat Putra Surya di Rungkut Industri, sebelum akhirnya ia pindah mengikuti perusahaan tersebut yang membuka cabang di Siring, Porong, Sidoarjo. Marsinah adalah generasi pertama dari keluarganya yang menjadi buruh pabrik.

Kegagalan meneruskan ke perguruan tinggi bukannya membuat semangat belajarnya padam. Marsinah berkeyakinan bahwa pengetahuan itu mampu mengubah nasib seseorang. Semangat belajar yang tinggi tampak dari kebiasaannya menghimpun berbagai informasi. Ia suka mendengarkan warta berita, baik lewat radio maupun televisi. Minat bacanya juga tinggi. Pada waktu-waktu luang, ia seringkali membuat kliping koran. Malahan untuk kegiatan yang satu ini ia bersedia menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membeli koran dan majalah bekas, meskipun sebenarnya penghasilannya pas-pasan untuk menutup biaya hidup.

Marsinah Berjuang

Ia dikenal sebagai seorang pendiam, lugu, ramah, supel, ringan tangan dan setia kawan. Ia sering dimintai nasihat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi kawan-kawannya. Kalau ada kawan yang sakit, ia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk. Selain itu ia seringkali membantu kawan-kawannya yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Ia juga dikenal sebagai seorang pemberani.

Paling tidak dua sifat yang terakhir disebut—pemberani dan setia kawan—inilah yang membekalinya menjadi pelopor perjuangan. Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)—pabrik tempat kerja Marsinah—menyambut dengan senang hati kabar kenaikan upah menurut Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok, namun himbauan ini tidak digubris oleh PT. CPS karena jelas akan membuat rugi perusahaan dan ini menimbulkan keresahan di antara para buruh.

Keresahan tersebut akhirnya berbuah perjuangan. Pada tanggal 3 Mei 1993 buruh PT. CPS mogok kerja dan menuntut kenaikan upah seusai dengan Surat Edaran Guberner Jawa Timur. Sebagian buruh bergerombol dan mengajak teman-teman mereka untuk mogok kerja. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untuk mencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.

Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Tidak ketinggalan, para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.
"Tuntutan kami berikutnya adalah bubarkan SPSI, tapi Depnaker langsung berdiri dan menyatakan, ‘ini ciri-ciri dari PKI’. Alasannya, SPSI itu bentukan pemerintah dan legal. Kalau melawan langsung dinyatakan PKI. Kami sangat ketakutan kalau di cap sampai sejauh itu," kata Klowor, pemimpin aksi ketika itu, pada peringatan malam kebudayaan “Marsinah Menggugat” di pelataran kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (sumber: www.vhrmedia.com)
Berakhirkah pertentangan antara buruh dengan pengusaha? Ternyata tidak! Tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa babibu, tentara mendesak agar ke-13 buruh itu menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama. Sungguh! Hukum menjadi kehilangan gigi ketika senapan tentara ikut bermain.

Marsinah sadar betul bahwa peristiwa yang menimpa kawan-kawannya, dan juga dirinya sendiri, adalah suatu keniscayaan di negeri milik pengusaha ini. Dari kliping-kliping surat kabar yang diguntingnya, dari keluhan-keluhan kawan-kawannya se pabrik, dari kemarahan-kemarahan dan teriakkan, dan dari apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, semuanya memberinya pengetahuan tentang ketidakberesan  dalam masyarakat Indonesia.

Marsinah, dengan semangat kesetiawakawannya, mendatangi Kodim Sidoarjo sendirian pada hari itu juga untuk menanyakan nasib 13 rekannya yang dibawa ke sana. Sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Kawan-kawan Marsinah tidak mengetahui keberadaannya sampai tanggal 9 Mei, ketika mayat Marsinah ditemukan di pinggiran hutan jati Wilangan. Jasadnya ditemukan dengan tanda-tanda bekas kekerasan, sampai tulang duduk dan kemaluannya koyak seperti diterjang benda keras. Berdasarkan hasil autopsi Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Soetomo Surabaya) dan Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) ditemukan penyebab kematian Marsinah adalah penyiksaan berat dan ditemukannya tulang leher dan panggul yang hancur.

Dagelan-dagelan penyelidikan pun berlangsung tanpa seorang pun yang dikenai hukuman. Dari rejim Soeharto, Gus Dur, hingga Megawati,  kematian Marsinah dicoba diangkat lagi ke permukaan, tetapi kejelasan hukum tetap nihil. Hukum di negeri yang ‘demokratis’ ini seakan terkubur bersama dengan jasad Marsinah.  (sumber: www.militanindonesia.org )
***
Demikianlah kisah Marsinah, wanita pembela hak buruh yang masih menagih keadilan dari liang lahatnya,kawan. 18 tahun dan Marsinah masih saja menggugat. Demi memperjuangkan 550 rupiah yang merupakan hak rekan-rekan buruh, wanita muda pemberani itu harus meregang nyawa. Kasus Marsinah ini tercatat oleh ILO (International Labor Organization) sebagai peristiwa 1713 yang belum menemui titik terang hingga saat ini.
Selain Marsinah,masih ada ribuan nasib diluar sana yang belum terjamah. Terkubur dalam bisunya rasa takut, tenggelam dalam kepulan kabut keheningan. Kisah Marsinah bukan karena tragisnya maka saia publikasikan pada anda..Kisah Marsinah lebih dari sekedar menyambut Hari Buruh atau Mayday.
Kisah Marsinah adalah tentang perjuangan, tentang cita-cita. Ketika darah rekan seperjuangan telah tertumpah, maka malu lah anak muda jika cita-cita bersama tak kesampaian !
Marsinah ingin mengubah nasib… Bagaimana denganmu ?

              www.militanindonesia.com
               www.tempo.com
               www.gatra.com